Nanang Qosim, S.Pd.I |
Meski massa dan waktu terus berjalan dan berganti, guru dalam anggapan semua generasi yang hidup dalam massa dan waktu itu akan terus selamanya menjadikan guru sebagai nahkoda anak-anak bangsa. Tidak ada alasan lain, karena guru adalah seorang yang mendidik anak-anak bangsa untuk diarahkan ke jalur yang benar, selalu menanamkan akhlak, moral dan memberikan pengajaran supaya anak-anak bangsa menjadi cerdas dan bernas.
Itulah kenapa sekarang banyak anak-anak bangsa yang bercita-cita ingin menjadi guru, karena melihat begitu mulianya seorang guru. Diakui ataupun tidak, profesi yang semakin hari semakin diminati adalah profesi menjadi guru. Jika kita lihat, di semua daerah para lulusan sekolah menengah atas (MA/SMA/SLTA) banyak yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, dan cenderung arah tujuannya mereka memilih Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FIKP) atau bisa juga di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK).
Rasa Iklhas
Banyaknya keinginan seseorang menjadi guru tidak lantas kemudian dihambat atau dipersulit. Karena ada ikhtiar mereka untuk mengabdikan ilmunya untuk disalurkan kepada yang lain, mengingat jika ilmu disalurkan dengan rasa ikhlas maka ilmu tersebut akan sholeh yang tidak akan teruputus pahalanya, sampai kapanpun.
Tetapi perlu diingat, bahwa tugas menjadi guru tidak hanya mengajar, tetapi lebih pada penekanan khusus yaitu meningkatkan etos kerja sebagai guru yang sesungguhnya. Sebab masih banyak dari guru yang cenderung lemah dalam hal peningkatan kerjannya.
Masih banyak guru yang datang ke sekolah, apabila ada jadwal mengajar. Kalau pas tidak ada, guru tersebut berada di rumah, atau melaksanakan aktivitas lain di luar sekolah. Dan ironisnya, kalaupun guru terpaksa datang sekolah, guru tadi enggan melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru yang sejatinya.
Delapan Etos Keguruan
Jadi, sebagai seorang guru harus memahami dan mau dan mampu mewujudkan etos kerja dalam tugas keguruannya. Seperti yang pernah disinyalir oleh Jansen Sinamo, dalam Buku 8 Etos Keguruan. Pertama, mengajar itu adalah sebuah rahmat. Karenanya, ia mengajar dengan ikhlas dan penuh rasa syukur. Kedua, keguruan atau mengajar adalah amanah. Guru harus mengajar dengan benar dan penuh tanggung jawab. Ketiga, keguruan adalah panggilan. Guru harus mengajar tuntas dan penuh integritas.
Keempat, keguruan adalah aktualisasi. Guru harus mengajar dengan serius dan semangat. Kelima, keguruan adalah ibadah, guru mengajar dengan cinta dan penuh dedikasi. Keenam, keguruan adalah seni. Guru mengajar dengan cerdas dan penuh kreativitas. Ketujuh, keguruan adalah kehormatan. Guru mengajar dengan penuh keunggulan. Kedelapan, keguruan adalah pelayan. Guru mengajar sebaik-baiknya, penuh kerendahan hati. Kalau delapan etos kerja ini bisa diterapkan dan bisa menjadi karakter bagi sosok seorang guru, niscaya mutu pendidikan di Aceh berpeluang semakin meningkat.
Bahkan kalau kita tengok UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), disitu menyebutkan dengan jelas bahwa pada jatidiri guru terikat dan melekat pada dua peranan kepegawaian,yaitu sebagai ASN reguler dan ASN fungsional. Pertama, sebagai ASN fungsional, disitu dijelaskan bahwa gurutidak saja melaksanakan tugas pokoknya sebagai pengajar atau mentransfer ilmu kepada peserta didik. Melainkan ia juga berperan sebagai pembimbing, pengarah, pelatih, pembina, oendidikan, dan penilai peserta didik.
Oleh karena itu, mulai sekarang, dan seterusnya, sejatinya tugas guru sebagai sebuah profesi, pekerjaannya mengandung tugas dan fungsi spesifikasi tertentu, beda dengan profesi lain. Seorang guru harus terus menerus belajar dan memperbarui ilmunya, menemu-kenali, serta selalu berdialog dan berkomunikasi dengan orang, bahkan dengan alam. Kemudian guru harus menjalankan fungsinya, seperti mengajar, mendidik, membimbing, membina, dan mengevaluasi. Guru harus dinamis, fleksibel, dan adaptif dengan situasi dan kondisi zaman. Ia dituntut menjalankan kompetensi keilmuannya.