Oleh : Nanang Qosim, S.Pd.I
GPAI dan BP SMA Negeri 15 Semarang
|
Pendidikan merupakan investasi pembangunan sumber daya manusia (SDM). Tentu, investasi ini sangat menentukan bagaimana manusia menghadapi masa depan. Ketika pembangunan SDM lemah, bisa diprediksi: kehidupan manusia di masa depan akan mengalami beberapa hambatan dan kelambanan. Maka, dalam logika ini, pendidikan merupakan investasi masa depan.
Namun, kenyataan ini akan berbeda maknanya ketika diletakkan dalam logika ekonomi. Semakin banyak modal uang yang dikeluarkan oleh para orang tua, maka semakin besar peluang anak untuk bisa menuai keberhasilan. Jika yang lebih dominan adalah logika ekonomi, maka yang terjadi justru bukan human investment, melainkan financial investment.
Pada logika ini, muncul anggapan negatif bahwa pendidikan merupakan lahan yang cukup potensial bagi praktik bisnis. Atas dasar anggapan ini, tidak heran jika beberapa lembaga pendidikan (baik formal maupun nonformal) mendadak bermunculan. Bahkan, jumlahnya tidak terbayangkan sebelumnya, yang hanya berorientasi pada keuntungan finansial dari praktik pendidikan. Logika inilah yang seringkali digunakan oleh oknum tertentu dengan alibi menyediakan tempat investasi bagi anak-anak bangsa.
Padahal, yang menjadi tujuan utama pendidikan sebagai human investment adalah mengembangkan segenap potensi yang dimiliki manusia (anak didik) sebagai upaya peningkatan sumber daya, dan ini akan menjadi modal utama dalam menghadapi kehidupannya di masa depan. Dari sini pendidikan mengambil peran sebagai media untuk mengarahkan, membimbing, dan menunjukkan jalan menuju kehidupan di masa depan.
Mengelola Masa Depan
Karena itu, sebagaimana dikatakan Malik Fajar (2005:67), lembaga pendidikan, khusunya sekolah dan perguruan tinggi, tidak hanya bertugas memelihara dan meneruskan tradisi yang berlaku di masyarakat. Sebab, mengelola pendidikan pada hakikatnya mengelola masa depan.
Mengutip perkataan Ali bin Abi Taholib, “Didiklah dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu, sebab mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan zamanmu.” Pesan yang sama juga diungkapkan oleh futurolog Alvin Toffler, “Pendidikan harus selalu mengacu pada masa depan.” Potret masa depan, juga dikatakan Snow (1999) adalah suasana masa depan yang bergantung pada kebijakan-kebijakan, termasuk pendidikan yang dibuat pada masa kini.
Hal ini mengandung konsekuensi logis bahwa pendidikan tidak seharusnya dijalankan berdasarkan pada fakta hari ini, melainkan juga pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari. Karena itu, sebelum melakukan perencanaan agenda pendidikan, terlebih dahulu berupaya memotret fakta-fakta yang akan terjadi di masa depan. Dengan begitu, pendidikan tidak hanya berperan sebagai penonton atau penggembira realitas hari ini, tetapi juga mampu membentuk dan menentukan realitas di masa depan.
Ini perlu menjadi renungan para guru bahwa betapa perubahan-perubahan yang terjadi berjalan begitu cepat. Dengan kekuatan teknologi informasi, semua bisa berubah dalam hitungan detik. Perkembangan teknologi canggih juga mengalami kemajuan yang cukup singkat dan cepat. Apa yang dipelajari oleh ayah dan ibu kita sudah jauh berbeda tantanganya dengan masa sekarang. Dan hari ini tentu jauh berbeda tantangannya dengan tahun-tahun kemudian. Inilah yang harus menjadi pertimbangan utama dalam menyelenggarakan pendidikan.
Peran Guru
Dalam proses pelaksanakan proses pendidikan sebagai pengembangan human investment, sosok guru menempati posisi sangat vital. Tanpa mengabaikan peran orang tua, peran guru mempunyai pengaruh cukup besar terhadap kualitas SDM. Umumnya, proses pendidikan anak lebih banyak didapatkan di sekolah ketimbang di luar sekolah. Sebab, lingkungan luar sekolah seringkali dijadikan sebagai waktu bermain dengan teman sebaya, belajar (mengerjakan PR), dan istirahat. Maka, dalam hal ini guru memiliki peluang besar dalam membekali seperangkat pengetahuan dan pengalaman, bimbingan moral, dan nilai-nilai spiritual sebagai bekal anak didiknya di masa depan.
Sebagai pendidik masa depan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan guru. Pertama, menstimulasi kecenderungan anak. Ini sebagai upaya memahami minat dan bakat anak, yang dalam hal ini bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan guru dalam menentukan pola dan model yang baik bagi pengembangan diri. Kedua, mengasah kreativitas anak didik. Pengembangan kreativitas merupakan salah satu komponen penting untuk menghadapi masa depannya. Kreativitas anak dikembangkan sejalan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan. Kreativitas inilah yang dijadikan modal untuk merumuskan masa depannya.
Ketiga, membangun kesadaran sosial anak. Sebagai konsekuensi logis dari alam modernitas berikut perkembangannya, kesadaran sosial anak akan sangat menentukan sejauhmana ia dapat memahami realitasnya. Ia tidak boleh hanyut dalam kecenderungan individualisme. Keempat, meningkatkan spiritualitas anak. Dengan cara ini, meski perubahan-perubahan bergerak begitu cepat yang seringkali dituduh semakin mengendurkan aspek religiusitas, anak akan memiliki benteng spiritualitas yang kokoh, sehingga tidak mudah hanyut dalam perubahan-perubahan tersebut.
Kelima, konsepsi masa depan. Masa depan adalah sekumpulam konsep yang dibentuk saat ini. Karenanya, anak didik kiranya perlu dilibatkan dalam menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di kemudian hari, sekaligus diajak menentukan posisinya. Selain ini, juga sebagai proses kreatif, anak didik diharapkan bisa mengendalikan dan merumuskan sendiri masa depannya. Tentu, dengan bimbingan guru.