SEMARANG- Penanaman benih radikalisme kian mengkhawtirkan karena menyayasar kalangan pemuda. Berdasarkan pengamatan Ketua MGMPPAI SMA, Sadi, penanaman bibit radikalisme itu sudah diberikan kepada siswa mulai dari tingkat SMP, SMAhingga perguruan tinggi.
”Menanggulangi radikalisme di sekolah dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan Islam secara memadai. Islam itu sangat mencintai kedamaian,” katanya, saat menjadi pembicara Seminar Pendidikan Menangkal Gerakan Radikalisme di Kalangan Pendidikan, kemarin.
Dalam acara yang digelar di Aula Gedung C Lantai 3 Kampus Universitas Wahid Hasyim (Unwahas), Jl Menoreh Tengah itu, juga menghadirkan Kepala Balitbang Agama Koeswinarno dan peneliti Lembaga Studi Sosial dan Agama yang juga dosen Unwahas, Tedi Kholiludin. Sadi memaparkan, hasil survei tim MGMP PAI SMA Kota Semarang diketahui penanaman bibit radikalisme itu memasuki sekolah-sekolah. ”Hal itu terjadi karena kurangnya pengetahuan tenaga pendidik tentang gerakan radikalisme. Jika terus seperti ini akan menjadi masalah yang sulit dipisahkan,” jelasnya.
Untuk menangkalnya, imbuh Sadi, guru di sekolah harus mengenalkan hubungan ajaran Islam dengan kearifan lokal, menumbuhkan sikap inklusivisme kepada peserta didik, selektif ketika bekerja sama dengan pihak luar, serta memutus rantai dengan alumnus yang intoleran. ”Pemerintah harus merekomendasikan peningkatan kompetensi dan kapasitas guru pendamping dan mentor agar tercipta forum Rohis (kerohanian Islam) yang sehat dan tidak berbau radikalisme. Selain itu, pembinaan aktivitas kerohanian Islam berupa akomodasi, fasilitasi, dan supervisi juga perlu ditingkatkan dalam menunjang perkembangan forum itu,” paparnya.
Pola Pesantren
Kepala Balitbang Agama Koewinarno mengatakan, pendidikan agama Islam (PAI) harus berada dalam bingkai keindonesiaan. Pendidikan agama yang diajarkan haruslah berada di dalam pendidikan Pancasila. ”Semua ini harus berjalan mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi,” ujarnya.
Sementara itu, Tedi Kholiluddin menegaskan, pola pendidikan di pesantren menjadi cara menjawab problem radikalisme. Karena, salah satu yang ditekankan dalam transmisi kelimuan di pesantren adalah hadirnya guru atau kiai. ”Mengaji tidak bisa tanpa guru. Ini dimaksudkan untuk meminimalisasi reduksi terhadap apa yang dibaca. Komunikasi yang nir-hierarki juga membuat tidak adanya etika, terutama komunikasi di sosial media,” jelasnya.
Sementara itu, Unwahas juga menjalin kerja sama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Agama (Balitbang) Semarang. Pembantu Rektor Dr Mufzakir Ali menjelaskan, kegiatan tersebut digagas Kantor Urusan Internasional dan Kerja Sama (KUIK) Unwahas dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) terutama dosen dan mahasiswa dalam bidang kajian penelitian, pelatihan, serta publikasi jurnal nasional, dan internasional.
Dimuat di Koran Suara Merdeka, Kamis, 26 Oktober 2017