"MA LIMA" singkatan dari maling (mencuri), madon (melacur), main (berjudi), mateni (membunuh), dan madat (minuman keras, ganja, narkoba, sabu-sabu). Sebuah rambu-rambu yang lahir dari kearifan para leluhur bangsa tempo dulu. Mengandung peringatan agar menjauhi semua itu. Jangankan melanggar kelima-limanya sekaligus, mencoba mengerjakan satu saja, bahaya besar sudah menghadang. Dampak berkepanjangan akan datang menerkam.

Tapi sekarang, Ma Lima tampaknya sudah tidak dianggap lagi. Sudah menjadi fosil berdebu di tengah penonjolan sikap dan sifat hedonis, materialis serta pengumbaran hawa nafsu di berbagai tingkatan masyarakat. Mulai dari kelas jelata hingga kelas elite. Mulai dari perorangan hingga komunitas "terhormat". Ma Lima sudah menjadi peristiwa sehari-hari yang dianggap lumrah.

Dulu maling dilakukan dengan cara membegal, merampok, dan mencuri. Pelakunya bergerombol. Rata-rata tidak berpendidikan. Bertampang kasar berotot kuat. Siang hari bersembunyi di gua-gua atau hutan-hutan yang jauh dari keramaian manusia. Mereka biasanya bergerak malam hari.

Sekarang maling berbentuk macam-macam. Korupsi, suap-sogok, tipu-menipu, gratifikasi, mark-up, dan lain sebagainya. Pelakunya tidak bergerombol, namun tetap terkait jaringan persekongkolan diam-diam.

Melacur juga, dulu begitu. Sembunyi-sembunyi. Hanya sekadar melepas syahwat seraya nama dan kedudukan tetap terhormat. Sekarang terang-terangan. Di kamar hotel. Di kolam renang. Dan didokumentasikan dengan foto atau video. Agar mengundang kesan jantan dan populer. Persetan dengan kecaman dari kiri kanan.

Main alias judi, dulu sekadar klangenan. Bagian dari kehidupan mapan berkat pangkat dan kedudukan. Sekarang segala sesuatu dianggap judi atau diperjudikan.

Mateni atau membunuh. Sudah ibarat sarapan pagi. Begitu membuka koran dan menyetel televisi, langsung disuguhi berita pembunuhan. Mulai dari pembunuhan berantai, pembunuhan di dalam koper, pembunuhan tak direncanakan, dan sebagainya dan sebagainya. Semuanya bersumber dari kerapuhan kepribadian manusia di tengah tekanan struktur ekonomi, politik, dan budaya.

Selain mateni yang berhubungan langsung dengan nyawa, ada juga mateni yang bercorak abstrak, namun berakibat sama. Bahkan mungkin lebih parah lagi. Yaitu pembunuhan kepercayaan, karakter, masa depan, dsb. dengan berbagai cara yang dianggap tidak melanggar hukum. Termasuk membunuh hati nurani sendiri agar tega melakukan apa saja demi keuntungan pribadi dan kroni.

Madat atau mengisap candu, dulu dikonsumsi secara terbatas oleh etnis tertentu dalam batasan usia tertentu dan pada tempat khusus yang disediakan dan diawasi ketat. Sekarang madat bebas leluasa. Para pelaku, tempat, cara, dan jenis madat terserah keinginan. Narkoba, ganja, sabu, dikonsumsi leluasa, di mana saja. Yang tertangkap, dijerat hukum yang tak minimbulkan jera. Yang tidak tertangkap, tenang-tenang saja. Mabuk tanpa terganggu. Hilang akal seenaknya.

Bahkan tanpa mengisap madat pun, orang-orang sekarang justru dapat mabuk. Mabuk kekuasaan. Mabuk kesempatan. Hilang akal waras. Hilang pikiran jernih. Sehingga dalam melakukan segala sesuatu tanpa perlu lagi merasa malu. Dapat melakukan persekongkolan jahat apa saja, kapan saja, di mana. Tanpa salah seorang pun merasa risi. Baik yang mengajak maupun yang diajak sudah tahu sama tahu untuk bersekongkol dan seolah-olah tidak tahu bahwa perbuatan semacam itu melanggar hukum. Anehnya, para penegak hukum ikut terlibat. Kasus Artalyta Suryani yang melibatkan aparat Kejaksaan Agung misalnya, dapat dijadikan salah satu contoh.

Apalagi yang diharapkan dari bangsa dan negara ini apabila Ma Lima plus kebohongan publik, sudah merebak ke setiap sendi kehidupan? Setiap tarikan napas, sesak pengap oleh Ma Lima dan kebohongan demi kebohongan yang dipamerkan di mana-mana. Termasuk di institusi-institusi resmi.

Jika sudah demikian, jangan salahkan ancaman azab Allah SWT yang sudah menggumpal di depan mata.

Penulis, Nanang Qosim, S.Pd.I (Guru PAI dan BP SMA Negeri 15 Semarang)
 
Top