Melihat orang-orang memegang gawai di mana pun berada sudah menjadi pemandangan biasa. Di tempat umum, rumah makan, bahkan di sekolah saat istirahat, orang-orang khusyuk mengamati gawainya. Dari bangun sampai tidur yang pertama dan terakhir dilihat adalah gawai.
Survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan pengguna internet di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 132,7 juta orang. Sebanyak 67,2 juta (50,7%)
Survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan pengguna internet di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 132,7 juta orang. Sebanyak 67,2 juta (50,7%)
mengakses melalui mobile dan komputer, 63,1 juta (47,6%) mengakses dari mobile, dan 2,2 juta (1,7%) mengakses hanya dari komputer.
Pengguna internet dalam rentang usia 10-24 tahun sebanyak 24,4 juta (18,4%). Dari jumlah itu, 8,3 juta merupakan pelajar. Penetrasi penggunaan internet oleh pelajar mencapai 69,8%. Hasil tersebut dapat dipahami bahwa pelajar sering mengakses internet. Penetrasi tertinggi adalah mahasiswa, yaitu 89,7%.
Masifnya penggunaan internet membuat kita mengalami banjir informasi. Ada berita yang benar, namun tidak sedikit informasi yang salah, bahkan palsu. Kita kini akrab dengan istilah hoax, yaitu berita bohong/palsu. Misalnya hoax tentang bahaya makanan, minuman, agama, dan suku tertentu yang mudah kita temukan di internet.
Berita hoax banyak memuat konten yang dekat dengan kehidupan dan bagaimana kita melihat dunia luar. Survei APJII menyebutkan konten berita yang sering kita kunjungi adalah mancanegara (20,6%), kesehatan (13,8%), kriminalitas (13,4%), politik (11%), olahraga (10,5%), dan hukum (6,6%). Hoax tentang keagamaan juga sering muncul karena pengunjung situs keagamaan dan sosbud (sosial budaya) sebanyak 23,6 juta (17,8%).
Berita hoax tergolong bisnis yang menggiurkan. Beberapa waktu lalu terungkap sindikat Saracen, pembuat dan penyebar hoax berisi SARA. Ada motif ekonomi yang bersimbiosis mutualisme dengan kepentingan politik praktis. Ketidaktahuan kita akan validitas informasi sesungguhnya hanya dimanfaatkan pembuat hoax untuk mendapatkan keuntungan ekonomi-politik.
Sejarah Hoax
Cambridge Dictionary menyebutkan hoax bermakna deceive (tipuan). Istilah hoax mulai ramai sejak film di Amerika Serikat berjudul The Hoax dirilis pada 2006. Film tersebut diadaptasi dari buku The Hoax karya Clifford Irving. Netter (netizen) di Amerika Serikat menyebut film tersebut penuh kepalsuan karena banyak isi buku The Hoax yang diubah dan dihilangkan. Sejak itu hoax menjadi istilah yang lazim dipakai untuk menyebut berita palsu.
Survei Mastel (masyarakat telematika) Indonesia terhadap 1.116 responden yang dirilis 2017 menyebutkan hoax menurut masyarakat adalah berita bohong yang disengaja (90,30%), berita yang menghasut (61,60%), berita yang tidak akurat (59%). Berita hoax yang sering diterima adalah sosial politik (91,80%), SARA (88,60%), kesehatan (41,20%), dan makanan dan minuman (32,60%). Saluran penyebaran hoax tertinggi adalah media sosial (92,40%), aplikasi chatting (62,80%), dan situs web (34,90%).
Hoax bukan persoalan baru di Indonesia. Hikayat tentang sejarah Nusantara mengandung hoax yang berkaitan erat dengan kekuasaan, sehingga antara satu hikayat dengan hikayat daerah lain bisa bertentangan dalam topik yang sama (Riki Dhamparan Putra, Kompas, 12/6/12).
Ki Hadjar Dewantara pernah menganalisis berita di surat kabar pada tahun 1938 tentang anak bernama Sukiman yang hilang selama sembilan tahun. Orang-orang bercerita, dalam masa hilang itu dia hidup bersama kakek-neneknya yang telah meninggal, tinggal di istana, dan tidak kekurangan makan dan minum. Media massa memuat peristiwa ajaib itu dan memajang foto Sukiman yang telah dikenal sebagai orang sakti.
Seorang mantri-perawat, R Katamsi penasaran dan merasa mengenali foto Sukiman. Rupanya Sukiman adalah anak yang ditemukan Katamsi dengan luka di kepalanya 1,5 tahun sebelumnya. Sukiman dirawat dan setelah sembuh dilepas dari rumah sakit. Keterangan R Katamsi dimuat di harian Sedyo Tomo edisi 24 Februari 1938 dan terbongkarlah kebohongan Sukiman (Dewantara, 1962: 425-426).
Pada awal tahun ini santer berita penculikan anak untuk diambil organ tubuhnya. Berita dengan mudah menyebar melalui grup WA. Bahkan muncul video penculikan anak dan anak-anak yang terbaring dengan bekas luka karena organ tubuhnya diambil. Berita ini tentu membuat khawatir orang tua dan membuat guru memiliki tugas tambahan untuk mengecek keberadaan siswanya. Namun, media kredibel seperti Kompas (kompas.com, 23/3/2017), Tempo (tempo.co, 27/3/2017), dan Detik (detik.com, 12/3/2017) menyebut bahwa berita tersebut adalah hoax.
Sebab menyukai hoax
Hoax mudah menyebar karena pada dasarnya setiap orang adalah makhluk sosial yang peduli dengan orang lain. Di era media sosial kepedulian tersebut bisa diwujudkan dengan meng-klik share (bagikan). Menyebarnya hoax karena, pertama, menyentuh isu-isu kepentingan publik dan sensitif, misalnya agama. Korban konflik Israel-Palestina, Syria, dan pengungsi Rohingya adalah contoh bahan hoax yang dapat memancing empati masyarakat. Masyarakat yang menerima berita terkait agamanya cenderung memberikan respon. Respon yang paling mudah adalah dengan membagikannya, dan merasa turut menjaga marwah agama.
Kedua, masyarakat malas melakukan verifikasi. Banyak survei menyebutkan tingkat membaca masyarakat Indonesia sangat rendah. Data penelitian Central Connecticut State University pada Maret 2016 menyebut minat baca masyarakat Indonesia adalah peringkat ke 60 dunia. Padahal infrastruktur untuk mendukung minat baca kita urutan 34 (kompas.com, 29/8/2016). Kurangnya memanfaatkan infrastruktur membaca ini berakibat kita mudah percaya dengan informasi dari satu media.
Berita hoax banyak disebarkan oleh orang dan media yang tidak jelas. Detik.com memiliki rubrik Hoax Or Not sebagai upaya untuk menangkal hoax. Pada 27/10/17 detik.com menkonfirmasi video asap membubung tinggi dan kembang api meledak di udara yang disebut sebagai ledakan pabrik kembang api di Kosambi sehari sebelumnya. Konfirmasi detik.com pada saksi mata, polisi, dan Sekda (sekretaris daerah) menyatakan, mereka menyangkal bahwa video itu adalah ledakan di Kosambi. Kesimpulannya video tersebut hoax.
Koran nasional Jawa Pos juga memiliki rubrik Hoax atau Bukan yang terbit setiap Senin. Pada 30/10/17 JawaPos menanggapi berita di grup WA, bahwa kola merk tertentu dapat memadamkan api. Jawa Pos menelusuri situs-situs terpercaya dan mengkonfirmasi ahli. Didapat kesimpulan bahwa memadamkan api dengan kola (air soda) harus dilakukan oleh ahli. Jika dilakukan oleh orang awam, justru dapat berbahaya. Para ahli tidak merekomendasikan memadamkan api dengan kola.
Mengidentifikasi hoax
Sebuah berita tergolong hoax atau bukan bisa diidentifikasi. Survei Mastel menyebut sebanyak 53,50 % responden mudah memeriksa kebenaran hoax, 30,30% sulit, 12,80% sangat mudah, dan 12,80% sangat sulit. Jika ditotal, ada 43,1% yang sulit dan sulit memeriksa kebenaran hoax. Persentase tersebut berpotensi menjadi sasaran empuk penyebar hoax.
Survei Mastel dilakukan pada usia yang beragam, belum secara khusus menyasar pelajar. Sebagai gambaran persepsi hoax pada anak-anak, pada awal 2017 di Amerika Serikat diadakan survei hoax pada 853 responden berusia 10-18 tahun. Sebanyak 44% responden bisa membedakan berita hoax atau bukan. Sedangkan 31% tidak bisa membedakan berita hoax atau bukan (Yulaika Ramadani, tirto.id, 1/10/2017). Angka tersebut cukup menggambarkan bahwa remaja memang rentan menjadi korban hoax.
Ada tiga cara mudah yang bisa dilakukan untuk mengidentifikasi hoax. Pertama, situs berita penyebar hoax merupakan situs gratis. Misalnya banyak pesan ke nomor ponsel bahwa nomornya memenangkan undian dan diminta mengecek situs www.xxx.blogspot.com. Hal ini pasti hoax karena perusahaan besar pasti menggunakan situs berbayar. Berita-berita hoax mayoritas muncul dari situs abal-abal yang hanya mengejar klik untuk mendapatkan dolar.
Kedua, judul berita menggunakan kalimat bombastis-hiperbolik. Terungkap, terbongkar, mengejutkan, adalah contoh kata-kata yang digunakan untuk berita hoax. Mereka bahkan tidak ragu mencantumkan kata-kata islami, semisal Subhanallah, Alhamdulillah, Astaghfirullah, Allahu Akbar.
Ketiga, informasi bertentangan dengan logika umum atau akal sehat. Sekarang kita hidup di zaman modern dan ilmiah. Ilmu pengetahuan telah berhasil mengungkap peristiwa yang dulu dianggap ajaib dan mitos. Jadi jika ada informasi yang sulit diterima akal, informasi tersebut dicurigai sebagai hoax. Jika ada informasi dari media digital yang memenuhi kriteria di atas, 99,99 persen adalah hoax.
Mencegah hoax
Pencegahan hoax dapat dimulai dari kita sendiri. Jika mendapat pesan tentang berita yang hampir seratus persen hoax, jangan membagikannya. Ketika berita hoax muncul dalam grup WA, langsung saja bertanya pada penyebar berita. Apakah ada media terpercaya atau seseorang yang dapat dikonfrimasi atas berita yang disebarkan? Kalau tidak ada, kemungkinan besar itu hoax.
Bagaimana untuk mencegah siswa tidak mempercayai informasi hoax? Peran guru dalam menangkal informasi hoax adalah literasi digital kepada siswa. Pertama, membaca berita dari beberapa media. Media besar arus utama sangat berhati-hati dengan informasi yang diterbitkan karena akan berpengaruh pada nama besar media tersebut. Jika media besar menerbitkan hoax, akan menjatuhkan kepercayaan masyarakat.
Kedua, membiasakan membaca berita sampai utuh, bukan hanya judulnya. Media abal-abal sering menampilkan berita yang judul dan isi berita tidak sama. Di facebook sering kita jumpai ada akun membagikan tautan berita dengan judul bombastis. Lalu komentar-komentar dengan bahasa kasar pun muncul.
Ketiga, menghubungi teman yang tinggal dekat lokasi peristiwa. Misalnya berita tabrakan bus yang merenggut korban tewas 100 orang di Tegal. Kita bisa mencari informasi pada teman yang tinggal tinggal di Tegal, apakah informasi ini benar atau tidak.
Keempat, membiasakan siswa untuk membaca. Tidak hanya buku-buku pelajaran, tetapi buku-buku pengetahuan umum, fiksi akan membuat mereka memiliki sikap kritis terhadap informasi yang mereka terima. Di sekolah kami ada literasi setelah jam sekolah. Anak-anak diwajibkan membaca buku di kelas. Untuk memudahkan akses, disediakan lemari buku di pojok kelas.
Siswa merupakan anak-anak dan remaja yang berada di fase rasa ingin tahu yang tinggi. Peran guru adalah mengarahkan rasa ingin tahu siswa ke hal-hal yang positif. Pembelajaran dapat diarahkan sebagai media pencegahan hoax, bukan semata mengajarkan ilmu pengetahuan.
Nilai dan etika juga wajib diajarkan di sela pembelajaran. Ketika guru menyampaikan pelajaran tertentu, guru juga bercerita tentang nilai-nilai yang bermanfaat bagi murid (Toety Heraty Noerhadi, Prisma, No. 7 Juli 1980 Tahun VIII). Seringkali nilai-nilai yang mungkin tidak berhubungan dengan pelajaran, justru yang akan diingat siswa sampai dewasa.
Siswa harus kita selamatkan dari racun hoax. Hoax beracun karena membunuh akal sehat kita. Ketika akal sehat kita sudah lumpuh, kemunculan ekses-ekses negatif tinggal menunggu ledakannya. Tentu kita tidak mau generasi mendatang adalah orang-orang yang nalarnya sudah terjangkit racun hoax bukan?
Penulis adalah Nanang Qosim, S.Pd.I, Guru PAI dan Budi Pekerti SMA Negeri 15 Semarang
Pengguna internet dalam rentang usia 10-24 tahun sebanyak 24,4 juta (18,4%). Dari jumlah itu, 8,3 juta merupakan pelajar. Penetrasi penggunaan internet oleh pelajar mencapai 69,8%. Hasil tersebut dapat dipahami bahwa pelajar sering mengakses internet. Penetrasi tertinggi adalah mahasiswa, yaitu 89,7%.
Masifnya penggunaan internet membuat kita mengalami banjir informasi. Ada berita yang benar, namun tidak sedikit informasi yang salah, bahkan palsu. Kita kini akrab dengan istilah hoax, yaitu berita bohong/palsu. Misalnya hoax tentang bahaya makanan, minuman, agama, dan suku tertentu yang mudah kita temukan di internet.
Berita hoax banyak memuat konten yang dekat dengan kehidupan dan bagaimana kita melihat dunia luar. Survei APJII menyebutkan konten berita yang sering kita kunjungi adalah mancanegara (20,6%), kesehatan (13,8%), kriminalitas (13,4%), politik (11%), olahraga (10,5%), dan hukum (6,6%). Hoax tentang keagamaan juga sering muncul karena pengunjung situs keagamaan dan sosbud (sosial budaya) sebanyak 23,6 juta (17,8%).
Berita hoax tergolong bisnis yang menggiurkan. Beberapa waktu lalu terungkap sindikat Saracen, pembuat dan penyebar hoax berisi SARA. Ada motif ekonomi yang bersimbiosis mutualisme dengan kepentingan politik praktis. Ketidaktahuan kita akan validitas informasi sesungguhnya hanya dimanfaatkan pembuat hoax untuk mendapatkan keuntungan ekonomi-politik.
Sejarah Hoax
Cambridge Dictionary menyebutkan hoax bermakna deceive (tipuan). Istilah hoax mulai ramai sejak film di Amerika Serikat berjudul The Hoax dirilis pada 2006. Film tersebut diadaptasi dari buku The Hoax karya Clifford Irving. Netter (netizen) di Amerika Serikat menyebut film tersebut penuh kepalsuan karena banyak isi buku The Hoax yang diubah dan dihilangkan. Sejak itu hoax menjadi istilah yang lazim dipakai untuk menyebut berita palsu.
Survei Mastel (masyarakat telematika) Indonesia terhadap 1.116 responden yang dirilis 2017 menyebutkan hoax menurut masyarakat adalah berita bohong yang disengaja (90,30%), berita yang menghasut (61,60%), berita yang tidak akurat (59%). Berita hoax yang sering diterima adalah sosial politik (91,80%), SARA (88,60%), kesehatan (41,20%), dan makanan dan minuman (32,60%). Saluran penyebaran hoax tertinggi adalah media sosial (92,40%), aplikasi chatting (62,80%), dan situs web (34,90%).
Hoax bukan persoalan baru di Indonesia. Hikayat tentang sejarah Nusantara mengandung hoax yang berkaitan erat dengan kekuasaan, sehingga antara satu hikayat dengan hikayat daerah lain bisa bertentangan dalam topik yang sama (Riki Dhamparan Putra, Kompas, 12/6/12).
Ki Hadjar Dewantara pernah menganalisis berita di surat kabar pada tahun 1938 tentang anak bernama Sukiman yang hilang selama sembilan tahun. Orang-orang bercerita, dalam masa hilang itu dia hidup bersama kakek-neneknya yang telah meninggal, tinggal di istana, dan tidak kekurangan makan dan minum. Media massa memuat peristiwa ajaib itu dan memajang foto Sukiman yang telah dikenal sebagai orang sakti.
Seorang mantri-perawat, R Katamsi penasaran dan merasa mengenali foto Sukiman. Rupanya Sukiman adalah anak yang ditemukan Katamsi dengan luka di kepalanya 1,5 tahun sebelumnya. Sukiman dirawat dan setelah sembuh dilepas dari rumah sakit. Keterangan R Katamsi dimuat di harian Sedyo Tomo edisi 24 Februari 1938 dan terbongkarlah kebohongan Sukiman (Dewantara, 1962: 425-426).
Pada awal tahun ini santer berita penculikan anak untuk diambil organ tubuhnya. Berita dengan mudah menyebar melalui grup WA. Bahkan muncul video penculikan anak dan anak-anak yang terbaring dengan bekas luka karena organ tubuhnya diambil. Berita ini tentu membuat khawatir orang tua dan membuat guru memiliki tugas tambahan untuk mengecek keberadaan siswanya. Namun, media kredibel seperti Kompas (kompas.com, 23/3/2017), Tempo (tempo.co, 27/3/2017), dan Detik (detik.com, 12/3/2017) menyebut bahwa berita tersebut adalah hoax.
Sebab menyukai hoax
Hoax mudah menyebar karena pada dasarnya setiap orang adalah makhluk sosial yang peduli dengan orang lain. Di era media sosial kepedulian tersebut bisa diwujudkan dengan meng-klik share (bagikan). Menyebarnya hoax karena, pertama, menyentuh isu-isu kepentingan publik dan sensitif, misalnya agama. Korban konflik Israel-Palestina, Syria, dan pengungsi Rohingya adalah contoh bahan hoax yang dapat memancing empati masyarakat. Masyarakat yang menerima berita terkait agamanya cenderung memberikan respon. Respon yang paling mudah adalah dengan membagikannya, dan merasa turut menjaga marwah agama.
Kedua, masyarakat malas melakukan verifikasi. Banyak survei menyebutkan tingkat membaca masyarakat Indonesia sangat rendah. Data penelitian Central Connecticut State University pada Maret 2016 menyebut minat baca masyarakat Indonesia adalah peringkat ke 60 dunia. Padahal infrastruktur untuk mendukung minat baca kita urutan 34 (kompas.com, 29/8/2016). Kurangnya memanfaatkan infrastruktur membaca ini berakibat kita mudah percaya dengan informasi dari satu media.
Berita hoax banyak disebarkan oleh orang dan media yang tidak jelas. Detik.com memiliki rubrik Hoax Or Not sebagai upaya untuk menangkal hoax. Pada 27/10/17 detik.com menkonfirmasi video asap membubung tinggi dan kembang api meledak di udara yang disebut sebagai ledakan pabrik kembang api di Kosambi sehari sebelumnya. Konfirmasi detik.com pada saksi mata, polisi, dan Sekda (sekretaris daerah) menyatakan, mereka menyangkal bahwa video itu adalah ledakan di Kosambi. Kesimpulannya video tersebut hoax.
Koran nasional Jawa Pos juga memiliki rubrik Hoax atau Bukan yang terbit setiap Senin. Pada 30/10/17 JawaPos menanggapi berita di grup WA, bahwa kola merk tertentu dapat memadamkan api. Jawa Pos menelusuri situs-situs terpercaya dan mengkonfirmasi ahli. Didapat kesimpulan bahwa memadamkan api dengan kola (air soda) harus dilakukan oleh ahli. Jika dilakukan oleh orang awam, justru dapat berbahaya. Para ahli tidak merekomendasikan memadamkan api dengan kola.
Mengidentifikasi hoax
Sebuah berita tergolong hoax atau bukan bisa diidentifikasi. Survei Mastel menyebut sebanyak 53,50 % responden mudah memeriksa kebenaran hoax, 30,30% sulit, 12,80% sangat mudah, dan 12,80% sangat sulit. Jika ditotal, ada 43,1% yang sulit dan sulit memeriksa kebenaran hoax. Persentase tersebut berpotensi menjadi sasaran empuk penyebar hoax.
Survei Mastel dilakukan pada usia yang beragam, belum secara khusus menyasar pelajar. Sebagai gambaran persepsi hoax pada anak-anak, pada awal 2017 di Amerika Serikat diadakan survei hoax pada 853 responden berusia 10-18 tahun. Sebanyak 44% responden bisa membedakan berita hoax atau bukan. Sedangkan 31% tidak bisa membedakan berita hoax atau bukan (Yulaika Ramadani, tirto.id, 1/10/2017). Angka tersebut cukup menggambarkan bahwa remaja memang rentan menjadi korban hoax.
Ada tiga cara mudah yang bisa dilakukan untuk mengidentifikasi hoax. Pertama, situs berita penyebar hoax merupakan situs gratis. Misalnya banyak pesan ke nomor ponsel bahwa nomornya memenangkan undian dan diminta mengecek situs www.xxx.blogspot.com. Hal ini pasti hoax karena perusahaan besar pasti menggunakan situs berbayar. Berita-berita hoax mayoritas muncul dari situs abal-abal yang hanya mengejar klik untuk mendapatkan dolar.
Kedua, judul berita menggunakan kalimat bombastis-hiperbolik. Terungkap, terbongkar, mengejutkan, adalah contoh kata-kata yang digunakan untuk berita hoax. Mereka bahkan tidak ragu mencantumkan kata-kata islami, semisal Subhanallah, Alhamdulillah, Astaghfirullah, Allahu Akbar.
Ketiga, informasi bertentangan dengan logika umum atau akal sehat. Sekarang kita hidup di zaman modern dan ilmiah. Ilmu pengetahuan telah berhasil mengungkap peristiwa yang dulu dianggap ajaib dan mitos. Jadi jika ada informasi yang sulit diterima akal, informasi tersebut dicurigai sebagai hoax. Jika ada informasi dari media digital yang memenuhi kriteria di atas, 99,99 persen adalah hoax.
Mencegah hoax
Pencegahan hoax dapat dimulai dari kita sendiri. Jika mendapat pesan tentang berita yang hampir seratus persen hoax, jangan membagikannya. Ketika berita hoax muncul dalam grup WA, langsung saja bertanya pada penyebar berita. Apakah ada media terpercaya atau seseorang yang dapat dikonfrimasi atas berita yang disebarkan? Kalau tidak ada, kemungkinan besar itu hoax.
Bagaimana untuk mencegah siswa tidak mempercayai informasi hoax? Peran guru dalam menangkal informasi hoax adalah literasi digital kepada siswa. Pertama, membaca berita dari beberapa media. Media besar arus utama sangat berhati-hati dengan informasi yang diterbitkan karena akan berpengaruh pada nama besar media tersebut. Jika media besar menerbitkan hoax, akan menjatuhkan kepercayaan masyarakat.
Kedua, membiasakan membaca berita sampai utuh, bukan hanya judulnya. Media abal-abal sering menampilkan berita yang judul dan isi berita tidak sama. Di facebook sering kita jumpai ada akun membagikan tautan berita dengan judul bombastis. Lalu komentar-komentar dengan bahasa kasar pun muncul.
Ketiga, menghubungi teman yang tinggal dekat lokasi peristiwa. Misalnya berita tabrakan bus yang merenggut korban tewas 100 orang di Tegal. Kita bisa mencari informasi pada teman yang tinggal tinggal di Tegal, apakah informasi ini benar atau tidak.
Keempat, membiasakan siswa untuk membaca. Tidak hanya buku-buku pelajaran, tetapi buku-buku pengetahuan umum, fiksi akan membuat mereka memiliki sikap kritis terhadap informasi yang mereka terima. Di sekolah kami ada literasi setelah jam sekolah. Anak-anak diwajibkan membaca buku di kelas. Untuk memudahkan akses, disediakan lemari buku di pojok kelas.
Siswa merupakan anak-anak dan remaja yang berada di fase rasa ingin tahu yang tinggi. Peran guru adalah mengarahkan rasa ingin tahu siswa ke hal-hal yang positif. Pembelajaran dapat diarahkan sebagai media pencegahan hoax, bukan semata mengajarkan ilmu pengetahuan.
Nilai dan etika juga wajib diajarkan di sela pembelajaran. Ketika guru menyampaikan pelajaran tertentu, guru juga bercerita tentang nilai-nilai yang bermanfaat bagi murid (Toety Heraty Noerhadi, Prisma, No. 7 Juli 1980 Tahun VIII). Seringkali nilai-nilai yang mungkin tidak berhubungan dengan pelajaran, justru yang akan diingat siswa sampai dewasa.
Siswa harus kita selamatkan dari racun hoax. Hoax beracun karena membunuh akal sehat kita. Ketika akal sehat kita sudah lumpuh, kemunculan ekses-ekses negatif tinggal menunggu ledakannya. Tentu kita tidak mau generasi mendatang adalah orang-orang yang nalarnya sudah terjangkit racun hoax bukan?
Penulis adalah Nanang Qosim, S.Pd.I, Guru PAI dan Budi Pekerti SMA Negeri 15 Semarang