Internet menjadi kebutuhan yang tidak bisa dielakkan dalam realitas umat manusia modern. Berbagai aktivitas membutuhkan internet, seperti untuk berbagai informasi, bisnis online, transaksi jual beli, dan berbagai keperluan lainnya. Sehingga dewasa ini orang menyebutnya sebagai dunia maya.
Tidak salah jika Alvin Toffler menyebut pada abad ke-21 adalah milik mereka yang menguasai informasi. Internet hadir untuk memenuhi kebutuhan manusia akan informasi untuk keperluan pribadi atau kelompok demi mencapai tujuan masing-masing.
Dunia sudah makin terkoneksi sejalan dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih. Dengan telepon seluler berbagai ukuran sesuai selera, orang dapat menghubungi seseorang lainnya di tempat yang jauh, bahkan di belahan dunia lain. Kita dapat menonton siaran langsung pemecahan rekor olimpia­de dan rekor dunia yang terjadi di belahan dunia lain melalui televisi dan internet. Maka generasi yang berada dan tumbuh di era internet ini bisa disebut dengan generasi internet.

Sisi Gelap
Namun demikian, kita cenderung lengah akan sisi gelap generasi internet. Pertama, generasi bodoh. Menurut Mark Bauerlen dalam  bukunya, The Dumbest Generation: How the Digital Age Stupefies Young American and Jeopardizes Our Future, generasi internet merupakan "potret kebo­dohan yang luar biasa dan merata" (Mark Bauerlen: 2001).
Pengaruh online selama ini membuat mereka terbius dalam keasyikan layanan internet yang membuat aktivitas membaca tidak dilakukan dan membawa efek buruk dalam berkomunikasi. Pengaruh online selama ini tercermin di sekolah-sekolah dan universitas-universitas tempat mereka menunjukkan prestasi buruk dalam ujian.
Kedua, generasi tidak tahu malu. Menurut M. Gigi Durham dalam buku The Lolita Effect, sudah menjadi sangat biasa belakang ini bagi gadis-gadis untuk menggugah foto mereka yang provokatif ke media online. Mereka dengan ceroboh memberikan kerahasiaan informasi pribadi pada media online. Tanpa disadari, perilaku demikian akan berbalik membahayakan me­reka, sehingga wajar online bullying kerap terjadi.
Ketiga, generasi narsistis. Menurut Jean Twenge, guru besar yang melakukan penelitian kepada mahasiswa tentang narcissistic personality inventory (1980 dan 2006), mereka jauh lebih narsistis daripada kaum muda 25 tahun silam. Pemanjaan fasilitas layanan di internet, seperti MySpace, YouTube, dan lain sebagainya mendorong mereka yang cenderung pencari perhatian.
Keempat, tidak memiliki etos kerja dan akan menjadi angkatan kerja yang mengecewakan. Menurut William Damon dalam The Path to Purpose: Helping Our Children Find Their Calling in Life, para siswa dewasa ini seperti terapung-apung tanpa arah, tanpa petunjuk tentang apa yang mereka inginkan atau akan menjadi apa di masa mendatang (William Damon: 2008). Itu sebabnya, masuk akal jika sebuah konsorsium yang dipimpin Conference Board merilis banyaknya perusahaan dan lembaga pemerintah yang melarang jaringan sosial seperti Facebook. Alasannya, karena kaum muda "senang menyia-nyiakan waktu mereka di situ, mereka sangat tidak siap menghadapi tuntutan hari ini (dan hari esok) di dunia kerja".
Kelima, generasi acuh tak acuh. Mereka tidak menganut nilai-nilai dan mereka tidak peduli tentang siapa pun. Minat mereka hanya kultur populer, para pesohor, dan teman-teman mereka. Waktu yang dihabiskan untuk online seharusnya dapat digunakan untuk membaca surat kabar atau menonton berita di televisi. Akibatnya, bagaimana mau tahu realitas sosial jika melihat realitas sosial tersebut tidak mau. Apalagi ketika mereka mengidap ketergantungan pada video game, sebagian mengatakan hasilnya lebih buruk. Menurut Against Video Game Addiction and Violence (MAVAV) misalnya, video game sebagai "penyakit ketergantungan dengan pertumbuhan paling pesat di dunia dan bahaya akibat kesembronoan paling besar bagi anak-anak masa kini-dibanding penyalahgunaan obat bius dan alkohol".
Jalan Keluar
Jika kondisi tersebut terus berlangsung tanpa langkah solusi yang tepat, kita patut mencemaskan bahwa generasi internet sedang melakukan sebuah kesalahan serius dan kebanyakan tidak menyadarinya. Di tangan generasi internet yang melek teknologi, memang telah tercipta kekuatan untuk memberikan perubahan (baca: kemajuan) dalam kehidupan masyarakat.
Dan itulah seharusnya yang terjadi yang kita harapkan, bukan sebaliknya, menimbulkan ekses-ekses negatif dalam kehidupan generasi bangsa ini. Itu artinya bagaimana peran pendidikan di keluarga, sekolah dan kampus memberikan pencerahan untuk memperkaya jiwa mereka. Begitu juga keluarga yang semakin dituntut untuk memberikan fungsinya dalam memberikan bimbingan dan kendali anak-anak yang menjadi generasi baru tersebut.

Penulis adalah Nanang Qosim, S.Pd.I
Guru PAI dan Budi Pekerti SMA Negeri 15 Semarang

 
Top