Nanang Qosim, S.Pd.I
Sungkeman merupakan budaya Jawa yang lebih identik dengan budaya kekeratonan. Tidak dipungkiri, sebab budaya ini lahir memang dari keraton. Meruntut, budaya ini lahir pertama kali ketika dulu seusai melakukan Shalat Idul Fitri Pangeran Sambernyawa julukan dari Mangkunegara I yang memerintah di Keraton Surakarta, menyuruh seluruh pengawal dan dayang-dayang istana untuk berkumpul di balai istana. Setelah berkumpul para pengawal dan dayang pun melakukan sungkem kepada Raja dan Permaisurinya berurutan. Begitulah ceritanya sampai ada tradisi sungkeman di Jawa.

Budaya sungkeman juga memiliki maksud untuk menunjukkan penghormatan kepada orang yang lebih tua. Dengan maksud pula untuk nyuwun pangapura, memohon maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukan. Supaya dari yang tua dan muda pun saling memaafkan sesudah melewati bulan Ramadhan. Dari hal itulah, masyarakat umum lainnya mulai meniru budaya sungkeman tersebut. Yang tentunya juga, dengan andil para ulama dahulu yang mencoba menggabungkan budaya Jawa dan Islam. Sehingga budaya sungkeman ini bisa merambah kesemua kalangan. Dalam  perkembangannya, budaya ini pun berubah menjadi sebutan halal bi halalan seusai Shalat Idul Fitri.

Itulah kearifan para ulama di Jawa yang punya ide untuk mengakulturasikan ke dua budaya tersebut. Untuk kesejahteraan dan kerukunan antar umat beragama. Sebab, bila melihat era sekarang budaya tersebut seakan telah menyebar ke seluruh Indonesia. Hal itu pun tak hanya melibatkan sesama umat Islam, melainkan umat agama lain pun juga ikut terlibat.

Budaya yang menunjukkan implikasi dari Puasa Ramadhan sebulan ada imbasnya. Dengan saling memaafkan, tak ada lagi benci, amarah, dan dendam terhadap sesama manusia. Dalam ajaran Islam memang tidak mengatakan kalau sesudah puasa Ramadhan harus saling memaafkan. SebagaimanaIslam mengajarkan kata maaf harus dilakukan setiap waktu, jika bersalah maka wajiblah ia meminta maaf. Tidak harus menunggu sampai Ramadhan datang.

Budaya bersalam-salaman dan bermaafan seusai Shalat Idul Fitri pun hanya terjadi dimasyarakat Indonesia saja. Sebab, jika melihat di negara-negara Timur Tengah tiadalah budaya seperti itu. Adanya di sana hanya bersalaman sebagai tanda persaudaraan dan keakraban yang telah terjalin.

Eksistensi Sungkeman
Melihat era globalisasi sekarang, dimanakemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya telah berkembang pesat. Budaya saling memafkan secara langsung pun mulai terkikis. Setelah maraknya alat komunikasi dan transportasi. Kata maaf pun tidak harus dilakukan secara langsung, melainkan bisa dilakukan dengan mengirim lewat medsos yang dipunyai, baik melalui SMS/WA/BBM/Line/Facebook atau sejenisnya,  ataupun dengan cara menelepon orang yang akan diminta mohonkan maaf.

Bila dahulu sewaktu penulis kecil, halal bi halalan bisa dilakukan selama seminggu lebih. Dan masih saja ada orang yang berkunjung untuk bersalaman dan meminta maaf. Apalagi biasanya kalau orang Jawa bila berkunjung, pasti minimal harus singgah terlebih dahulu untuk mencicipi jajanan atau makanan di rumah yang dikunjungi.

Tapi melihat masa sekarang, sudah sedikit berbeda. Karena, sekarang biasanya orang-orang tak lagi harus berkunjung ke setiap rumah. Ada handphoneyang bisa digunakan, sehingga masyarakat sekarang kebanyakan setelah melakukan Shalat Idul Fitri langsung pergi rekreasi bersama keluarganya.

Lalu bagaimanakah nasib budaya sungkeman? Budaya sungkeman pada zaman sekarang mungkin masih bisa eksis di kalangan keraton. Tapi kalau di kalangan masyarakat umum pasti dipertanyakan keeksistensiannya. Mengingat, budaya sungkeman juga bukan budaya yang efektif. Karena, butuh prosesi tersendiri dalam melakukan kebudayaan tersebut. Sehingga banyak orang yang lebih memilih hanya bersalaman saja.

Padahal bila melihat esensi dari budaya sungkeman itu sendiri sangatlah penting. Dari sungkeman itu dapat menjadi media penghormatan kepada yang tua. Sebagai sarana berkumpul, menambah keakraban antar sesama keluarga dan mempererat tali persaudaraan. Tapi, semua itu kembali lagi ke setiap individu mau menggunakan budaya yang mana. Pastinya per kepala punya kebiasaannya masing-masing dalam melewati hari-hari lebaran. Patutnya harus digunakan semaksimal mungkin untuk saling memaafkan. Sebab, bagaimana mungkin bila mengharap ampunan dari Allah sementara itu kita enggan untuk meminta maaf atau pun memaafkan orang lain. 


 
Top